Selamat Datang di akUGAYAku Sebuah blog tempat aku "bersembunyi" dibalik kehidupanku sebagai GAY. Jika aku tidak bisa terbuka di luar sana, maka aku akan terbuka seluas-luasnya di blog ini. Inilah dunia yang aku ciptakan untuk keterbukaanku. Sambutlah aku...!
Kumulai pada goresan pertama ini. Aku coba menorehkan himpunan huruf untuk mencatat sisi lain perjalanan hidupku sebagai gay. Aku akan menuangkan semua hal-hal yang aku sukai khususnya yang berhubungan dengan dunia gay.
Selama ini aku telah berusaha “bersembunyi” dari jati diriku yang lain, tapi hal ini sedikit tidak nyaman meskipun selama ini telah aku lakoni selama bertahun-tahun dan sudah terbiasa. Memiliki peran yang berfungsi ganda memang sangat merepotkan, tidak sedikit pengalaman yang mengasyikkan sekaligus menyedihkan dengan lakon ini.
Awalnya peran ini sangat menyiksa batin, saat itu aku masih duduk di bangku SMA kelas 1, aku merasa heran dan bingung mengapa aku sangat suka melihat seorang cowok yang juga teman sekelasku. Dia sangat menarik bagiku, kulit putih yang membalut otot-ototnya yang atletis dengan tinggi semampai, mata sendu yang semakin memikat jika tersenyum dari bibirnya yang mungil tipis memerah, rambut yang ikal yang tertata apik memancarkan cahaya dari pantulan sinar matahari.
Awalnya aku merasa biasa aja, seperti halnya teman-temanku saat di SMP dulu yang ganteng-ganteng dan cakep-cakep juga, tapi yang ini kok lain, semakin hari berjalan semakin bingung aku dibuatnya. Aku merasa nyaman jika memandangnya, aku merasa sejuk jika dia melirik aku, serasa setiap langkah yang aku dengar di kelasku bisa aku bedakan mana langkahnya.
Setiap hari aku tidak mau terlambat ke sekolah, karena aku harus bertemu dengannya. Bahkan jika aku sakit sekalipun, aku harus ke sekolah setidaknya untuk bisa memandang wajahnya meski sedetikpun.
Suatu hari, aku memang gak enak badan. Aku memaksa diri untuk tetap ke sekolah. Hari itu senin dan harus apel/upacara pagi, saat pertengahan upacara aku pingsan, mungkin karena gak sarapan dan juga sedang demam. Aku digoyong ke ruang UKS, dan saat aku sadar aku sangat kaget karena orang yang berusaha membuat aku sadar kembali adalah Ahmad, cowok teman kelasku yang selama ini membuatku jadi manusia “aneh”.
Dia memijat lenganku, meminumkan air putih, dan dia juga yang mengoleskan leher dan dadaku dengan balsem. Memang sih beberapa teman dan guru lain juga melakukan hal yang sama tapi saat itu serasa hanya ada dia sendiri. Aku merasa mendapatkan angin kesejukan melalui sentuhannya.
Ahmad adalah cowok pertama yang telah menggoyang hebat seluruh isi tubuhku. Meskipun dia bukan cowok pertama yang mengenalkan sex. Sebelumnya aku pikir sex yang aku lakukan dengan sesama cowok itu hal biasa karena hanya melampiaskan nafsu saja, itupun saya mengenal hubungan sex sejenis kali pertama saat masih duduk di bangku SD kelas 5 bersama tetangga baruku (kisah khusus tentang ini akan diceritakan selanjutnya).
Perasaanku pada Ahmad ternyata merupakan peristiwa “jatuh cinta”, inilah jatuh cinta pertamaku. Setelah aku sadar bahwa aku sedang jatuh cinta, aku sangat kebingungan dengan kondisi ini. Setumpuk pertanyaan membebani aku dan pertanyaan itu tidak mungkin aku tanyakan ke orang lain, aku khawatir dianggap aneh karena menurutku pertanyaan itu sendiri sudah sangat aneh.
Seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa aku ini adalah HOMO (saat itu aku belum tau istilah gay) yaitu cowok yang suka sesama cowok. Menurutku dari informasi yang aku dapatkan bahwa homo itu penyakit najis, menjijikkan, laknat, menyalahi kodrat, dan sejuta istilah negatif lainnya yang melekat pada penyakit tersebut.
Aku sangat tidak bisa menerima kondisi ini, tapi di sisi lain aku sangat tersiksa dengan dorongan “cinta” pada Ahmad. Aku sangat membutuhkan Ahmad untuk menenangkan batinku yang selalu merindu. Tapi aku juga benci dengan diriku yang telah terjangkit penyakit homo.
Aku menyalahkan diriku sendiri, tapi menurutku ini sangat tidak adil karena aku tidak pernah memilih untuk menjadi seperti ini. Tiba-tiba saja aku merasakan hal aneh ini di umurku yang baru saja melalui 16 tahun saat itu.
Aku mencoba menjauh dari Ahmad dan berusaha tidak pernah bertemu dengannya meskipun aku sekelas dengan dia. Usaha ini justru tidak menghasilkan sesuatu yang kuharapkan, namun sebaliknya aku semakin gila. Aku sudah tidak bisa konsentrasi pada pelajaran, tidur tak pernah nyenyak lagi, makan tak terasa nikmat lagi, dan semua hal yang terjadi setiap detik kehidupanku menjadi hampa.
Aku mendustai diriku sendiri, aku menghukum diriku sendiri, aku menghinakan diriku sendiri, aku melakukan semua hal yang membuatku tertekan agar rasa ini bisa lenyap. Tapi hal tersebut tidak berhasil bahkan membuat aku semakin stress padahal tidak lama lagi akan ujian caturwulan pertama.
Tuhan, mungkin dialah “oknum” yang paling bertanggungjawab terhadap kondisi anehku ini. Aku harus memberontak di depannya. Mengapa dia memberikan aku kehidupan yang dia sendiri membencinya. Mengapa dia menunjuk aku untuk sesuatu yang tidak pernah aku pilih. Ini tidak adil…!!! Ini tidak bisa aku terima begitu saja…!!!
Gejolak ini semakin parah tapi tak satupun yang tau, termasuk orang tuaku. Aku memang tergolong anak yang tertutup meskipun dalam pergaulan aku termasuk anak yang luwes. Mungkin jiwaku sudah tidak sanggup menahan beban ini hingga akhirnya gejolak yang semakin memanas ini meledak.
Aku menjadi seperti orang gila. Mereka bilang aku kesurupan. Kejadian “kesurupan” ini kerap terjadi meskipun dalam suasana belajar di kelas. Jika tak bisa lagi menahan kecamuk dalam jiwaku, apalagi kalau sedang melihat Ahmad dan aku hindari, tiba-tiba aku merasa ingin gila dan saat itu juga aku kehilangan kesadaran hingga akhirnya aku tau kalau aku sudah terikat, katanya aku harus diikat karena aku menjadi sangat ganas dan merusakkan semua yang ada di dekatku.
Orang tuaku pun jadi bingung dengan kondisiku yang aneh ini. Mereka khawatir jika benar-benar menjadi gila. Mereka membawaku ke psikiater, aku ditanya macam-macam olehnya, dia bertanya tentang ayahku, tentang ibuku, tentang teman-temanku, tentang pelajaranku, semua dia tanyakan. Tapi dia tidak pernah bertanya tentang Ahmad, ataupun tentang apa yang sedang saya rasakan.
Ayahku membayar mahal untuk setiap konsultasi ke psikiater itu, namun konklusi yang diberikan bahwa aku kelebihan beban dalam belajar. Katanya, aku terlalu memaksakan diri dalam belajar dan tidak ada waktu untuk refreshing. Memang sih sejak SD aku sudah terbiasa dengan pringkat 1 atau 2 saja setiap habis ujian, bahkan saat SMP aku malah menjadi siswa dengan nilai tertinggi kedua seluruh SMP di kotaku. Makanya tak heran saat aku SMA pun di sekolah negeri favorit.
“Keanehanku” tak kunjung hilang, malah semakin menjadi. Apakah ini salahku? Jika memang salahku, apa yang telah kuperbuat sehingga berakibat seperti ini. Apakah ini salah Ahamd yang telah membuatku jadi gila? Jika memang salahnya mengapa dia tidak tau. Apakah ini kesalahan orang tuaku? Jika memang salah mereka, apa yang belum mereka berikan padaku? Selama ini mereka telah memberikan seluruh kebutuhanku lebih dari cukup, bahkan cinta kasih mereka sangat besar buatku. Apakah ini salah Tuhan? Mungkin dialah yang lebih patut dipersalahkan.
Inilah segelumit ceritaku tentang jatuh cinta pertamaku yang membuatku menjadi aneh.
Selanjutnya aku akan bercerita lagi tentang bagaimana saya berusaha menggedor Tuhan agar bertanggungjawab dengan kesalahannya.